Kamis, 22 Desember 2016

Aliran Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari akidah atau teologi akan memberi  seseorang  keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
B.     Rumusan Masalah
·         Apa pengertian Mu’tazilah?
·         Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Mu’tazilah?
·         Apa saja doktrin-doktrin pokok aliran Mu’tazilah?
·         Bagaimana sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah?
C.     Tujuan
·         Untuk mengetahui apa itu Mu’tazilah.
·         Untuk mengetahui latar belakang kemunculan aliran Mu’taxilah.
·         Untuk mengetahui doktrin-doktrin pokok aliran Mu’tazilah.
·         Untuk mengetahui sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah
Pengertian atau definisi mu’tazilah dapat difahami melalui dua pendekatan,yaitu pendekatan etimologis (bahasa) dan pendekatan terminologis (istilah).
1.      Secara etimologis
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu  اعتزل yang aslinya adalah kataعزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
2.      Secara terminologis (istilah)
Memang literatur tentang mu’tazilah ini sangat banyak, tapi sedikit yang memberikan arti terminology secara inklusif maupun eksklusif tentang mu’tazilah. Berikut beberapa pendapat  tentang pengertian mu’tazilah:
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah [Harun Nasution. Teologi Islam. 2008. Hal 40.]. Mu’tazilah timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak memihak salah satu dari pihak utsman atau lawannya. Mereka juga golongan yang tidak mau membai’at Utsman ketika diangkat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahmad Amin.
Sedangkan menurut Ali Musthafa adalah golongan yang muncul pada masa Hasan Bashri yang dipimpin oleh Washil bin Atho. Pendapat lain mengatakan bahwa mu’tazilah adalah golongan yang mengnut freewill yang menganggap ahl sunnah dan khawarij salah. Tetapi apa yang kita pelajari bukanlah golongan yang timbul pada masa Utsman, bukan pula golongan yang hanya membahas perbuatan manusia tetapi lebih luas dan besar dari itu. Setelah kita mempelajari mu’tazilah, sejarah dan ajarannya kita akan melihat bahwa sebagian besar sejarawan setuju berbagai hal tentang mu’tazilah:
1. Mu’tazilah adalah aliran kalam.
2. Dipimpin oleh Washil bin Atho pada awalnya.
3. Lahir pada masa Daulah Bani umayyah.
4. Mempunyai lima ajaran dasar.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa Bani Umayyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang menganut lima ajaran dasar. (http://ilinsolehudin.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-mutazilah.html)

B.     Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
1).
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
2). Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah
. Sedangkan, Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah. Firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
      Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam. Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.

C.    Doktrin-Doktrin Pokoknya Aliran Mu’tazilah (Al-Ushul Al-Khamsyah)
1.      At-tauhid (ke-Esaan)
Merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Doktrin tauhid mu’tazilah menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadapa paham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam Al-qur’an yang artinya: “tidak ada satupun yang menyamainya.” (QS.As-syura:9).
2.      Al-’Adl (keadilan Tuhan)
Yang berarti Tuhan Maha Adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia.
Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal,diantaranya:
a.       Perbuatan manusia.
b.      Berbuat baik dan terbaik.
c.       Mengutus Rasul.
3.      Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman)
Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi janjinya sendiri. Ajaran ini tidak memberi peluang bagi  Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.      Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar,seperti dalam sejarah,khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik,sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada tuhan.
Menurut pandangan Mu’tazilah orang islam yang melakukan perbuatan dosa besar yang sampai matinya belum taubat,orang itu dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin,tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka ditempatkan disuatu tempat diantara keduanya.
5.      Al-Amr bi Al-Ma’ruf  wa Al-Nahi an Al-Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan).
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbbuatan baik,diantaranya dengan menyuruh orang berbuat kebaikan dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazialh jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
D.    Sejarah Perkembangan Mu’tazilah
Aliran Mu’taazilah ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah, mengenai orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar sudah tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan kafir. Namun, menurut kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi pendapat yang controversial ini Wasil yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukanlah mukmin atau kafir malainkan diantara keduanya. Demikian pendapat Wasil sehingga menjadi salah satu doktrin Muktazilah yaitu  al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Setelah menyatakan pendapatnya itu, Wasil bin Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Muktazilah. Setelah wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata“I’tazala’annā Wāsil (Wasil menjauhkan diri dari kita). Menurut Syahristani dari kata I’tazala’annā itulah lahirnya istilah Mutazilah yang artinya orang yang memisahkan diri. Pendapat lain menyatakan bahwa Mutazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu memisahkan diri secara fisik. Mutazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Mutazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya
Selain nama Mutazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl at-Tauhīd (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-‘Adl (pendukung paham keadilan Tuhan), dan kelompok Kadariah.
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mutazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum mutazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-*Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mutazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Muktazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mutazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran mutazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran mutazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab mutazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mutazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian muktazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya muktazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa Bani Umayyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang menganut lima ajaran dasar.
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Doktrin-Doktrin Pokoknya Aliran Mu’tazilah (Al-Ushul Al-Khamsyah) antara lain: At-tauhid (ke-Esaan), Al-’Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat),Al-Amr bi Al-Ma’ruf  wa Al-Nahi an Al-Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan).
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-*Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Selama berabad-abad, kemudian muktazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam.


Daftar Pustaka
Harun Nasution. Teologi Islam. 2008. Hal 40


Tidak ada komentar:

Posting Komentar