BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari
akidah atau teologi akan memberi
seseorang keyakinan-keyakinan
yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan
oleh peredaran zaman.
B. Rumusan Masalah
·
Apa pengertian
Mu’tazilah?
·
Bagaimana latar belakang
kemunculan aliran Mu’tazilah?
·
Apa saja doktrin-doktrin
pokok aliran Mu’tazilah?
·
Bagaimana sejarah
perkembangan aliran Mu’tazilah?
C. Tujuan
·
Untuk mengetahui apa itu
Mu’tazilah.
·
Untuk mengetahui latar
belakang kemunculan aliran Mu’taxilah.
·
Untuk mengetahui
doktrin-doktrin pokok aliran Mu’tazilah.
·
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan aliran Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mu’tazilah
Pengertian atau definisi mu’tazilah dapat difahami
melalui dua pendekatan,yaitu pendekatan etimologis (bahasa) dan pendekatan terminologis (istilah).
1. Secara
etimologis
Kata
mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya
adalah kataعزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut
Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata
asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan
satu arti yaitu mengusir.
Penambahan
huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan
sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti
terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah
berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan
Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”,
ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh,
sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan
mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
2. Secara
terminologis (istilah)
Memang literatur
tentang mu’tazilah ini sangat banyak, tapi sedikit yang memberikan arti
terminology secara inklusif maupun eksklusif tentang mu’tazilah. Berikut beberapa pendapat tentang pengertian mu’tazilah:
Mu’tazilah
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam
dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij
dan murji’ah [Harun Nasution. Teologi Islam. 2008. Hal 40.]. Mu’tazilah timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak
memihak salah satu dari pihak utsman atau lawannya. Mereka juga golongan yang
tidak mau membai’at Utsman ketika diangkat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahmad
Amin.
Sedangkan
menurut Ali Musthafa adalah golongan yang muncul pada masa Hasan Bashri yang
dipimpin oleh Washil bin Atho. Pendapat lain mengatakan bahwa mu’tazilah
adalah golongan yang mengnut freewill yang menganggap ahl sunnah dan khawarij
salah. Tetapi apa yang kita pelajari bukanlah golongan yang timbul pada masa
Utsman, bukan pula golongan yang hanya membahas perbuatan manusia tetapi lebih
luas dan besar dari itu. Setelah kita mempelajari mu’tazilah, sejarah dan
ajarannya kita akan melihat bahwa sebagian besar sejarawan setuju berbagai hal
tentang mu’tazilah:
1. Mu’tazilah
adalah aliran kalam.
2. Dipimpin
oleh Washil bin Atho pada awalnya.
3. Lahir pada
masa Daulah Bani umayyah.
4. Mempunyai
lima ajaran dasar.
Jadi dapat
kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa
Bani Umayyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin
Atho. Yang menganut lima ajaran dasar. (http://ilinsolehudin.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-mutazilah.html)
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya
aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah
Al-Makmun.
Maka
sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam
(yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah)
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
1). Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
1). Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam
arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
2). Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
2). Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena
mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian
status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan
dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah. Sedangkan, Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah. Firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah. Sedangkan, Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah. Firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah
merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin
mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan
sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang
mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam. Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di
kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka
kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu
banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang
menamakan dirinya Islam maupun tidak.
C. Doktrin-Doktrin
Pokoknya Aliran Mu’tazilah (Al-Ushul
Al-Khamsyah)
1.
At-tauhid (ke-Esaan)
Merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Doktrin tauhid
mu’tazilah menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga
keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya,
Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak
antropomorfisme. Penolakan terhadapa paham antropomorfistik bukan semata-mata
atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam
Al-qur’an yang artinya: “tidak ada satupun yang menyamainya.” (QS.As-syura:9).
2.
Al-’Adl (keadilan Tuhan)
Yang berarti Tuhan Maha Adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia.
Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal,diantaranya:
a.
Perbuatan manusia.
b.
Berbuat baik dan terbaik.
c.
Mengutus Rasul.
3.
Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman)
Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan
terikat dan dibatasi janjinya sendiri. Ajaran ini tidak memberi peluang
bagi Tuhan selain menunaikan janjinya
yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak
melakukan perbuatan dosa.
4.
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran
ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar,seperti dalam
sejarah,khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik,sedangkan
murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya
diserahkan kepada tuhan.
Menurut pandangan Mu’tazilah orang islam yang melakukan perbuatan dosa
besar yang sampai matinya belum taubat,orang itu dihukumi tidak kafir dan tidak
pula mukmin,tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi
mereka ditempatkan disuatu tempat diantara keduanya.
5.
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahi an
Al-Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan).
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini
merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus
dibuktikan dengan perbbuatan baik,diantaranya dengan menyuruh orang berbuat
kebaikan dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan
mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya.
Menurut Mu’tazialh jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan
ajaran tersebut.
D. Sejarah Perkembangan
Mu’tazilah
Aliran
Mu’taazilah ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij
dan aliran Murjiah, mengenai orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum
Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar sudah tidak dapat dikatakan mukmin
lagi, melainkan kafir. Namun, menurut kaum Murjiah tetap menganggap orang
mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi pendapat
yang controversial ini Wasil yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri
mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin
dan kafir. Tegasnya, orang itu bukanlah mukmin atau kafir malainkan diantara
keduanya. Demikian pendapat Wasil sehingga menjadi salah satu doktrin
Muktazilah yaitu al-Manzilah
bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Setelah
menyatakan pendapatnya itu, Wasil bin Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri
lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal
Muktazilah. Setelah wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata“I’tazala’annā
Wāsil (Wasil
menjauhkan diri dari kita)”. Menurut Syahristani dari kata I’tazala’annā itulah
lahirnya istilah Mu’tazilah yang
artinya orang yang memisahkan diri. Pendapat lain menyatakan bahwa Mu’tazilah memang berarti memisahkan diri,
tetapi tidak selalu memisahkan diri secara fisik. Mu’tazilah dapat berarti memisahkan diri dari
pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Mu’tazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya
Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering
disebut kelompok Ahl
at-Tauhīd (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl
al-‘Adl (pendukung
paham keadilan Tuhan), dan kelompok Kadariah.
Pada awal
perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya
dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain adalah kaum mu’tazilah
dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini
baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada
masa pemerintahan Khalifah al-*Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M).
kedudukan Mu’tazilah
semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini
disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar
akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase
kejayaannya itu, Muktazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa
memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam
sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan
paham-paham Khalq
Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam
Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam
arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi
tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan
bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah
al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat
pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham
ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah
kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan.
Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan
juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat
pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang
dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran mu’tazilah.
Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah
al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil,
dominasi aliran mu’tazilah
menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini
semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan
menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan
selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul
kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan
ini tidak berlangsung lama.
Selama
berabad-abad, kemudian muktazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh
aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini
ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun
sejak awal abad ke-20 berbagai karya muktazilah ditemukan kembali dan
dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa
Bani Umayyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin
Atho. Yang menganut lima ajaran dasar.
Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik.
Doktrin-Doktrin Pokoknya Aliran Mu’tazilah
(Al-Ushul Al-Khamsyah) antara lain: At-tauhid (ke-Esaan), Al-’Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji
dan ancaman), Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat),Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahi an Al-Munkar
(menyuruh kebaikan dan melarang keburukan).
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan
Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-*Ma’mun, penguasa
Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah
al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Selama berabad-abad, kemudian muktazilah
tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah.
Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak
lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam.
Daftar Pustaka
Harun Nasution. Teologi Islam. 2008. Hal 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar