Tampilkan postingan dengan label FIQIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2016

Qishos Diyat



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti dengan adanya firman Allah SWT { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } yang berarti “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan kejahatan ini tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam bertujuan menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara Islam. Dalam hal ini, hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama qishos dan diyat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qishos diyat?
2.      Apa saja macam-macam qishos diyat?
3.      Bagaimana sumber hukum qishos diyat?
4.      Bagaimana sangsi jarimah qishos diyat?
5.      Bagaimana pembuktiannya?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian qishos diyat.
2.      Untuk mengetahui apa saja macam-macam qishos diyat.
3.      Untuk mengetahui bagaimana sangsi jarimah qishos diyat.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pembuktiannya.
5.      Untuk mengetahui bagaimana sumber hukum qishos diyat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qishos Diyat
Kata qishos (qishâsh) yang dalam bahasa Arab “قصاص” secara bahasa memiliki arti mengikuti jejaknya/kesannya (تتبع الأثر) seperti “قصصت الأثر” berarti: aku mengikuti jejaknya (تتبعته). Akan tetapi, menurut al-Fayûmî kata qishos lebih sering dimaknai dengan menghukum pembunuh dengan membunuh, mencederakan pencedera, memotong tangan orang yang memotong tangan.
Secara istilah kata qishos memiliki arti: “الْقِصَاصُ أَنْ يُفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الْجَانِي مِثْلُ مَا فَعَلَ” berarti: qishos adalah diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan.
Qishos dipraktekkan di negara-negara yang menganut syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Pakistan. Beberapa Negara lain menganggap Qishos tidaklah relevan untuk diterapkan pada saat ini sebagaimana konsep hukum mati yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kata diyât (ديات) yang merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki arti: harta yang wajib bagi jiwa. Sedangkan secara istilah adalah harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya. Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari qishos. Mustahiq Al-qishos memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih qishos, perdamaian atau memaafkan. Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.
Ciri khas dari jarimah qishos dan diyat adalah:
1)      Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal atau maksimal.
2)      Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
B.     Macam-Macam Qishos Diyat
Maksud dari macam-macam qishos dan diyat adalah jenis-jenis dari kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara qishos atau diyat.
Secara umum, pembunuhan ada tiga cara, yaitu:
1)      Betul-betul disengaja, yaitu dilakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya itu dengan perkakas yang biasanya dapat digunakan untuk membunuh orang. Hukum ini wajib di-qishos. Berarti dia wajib dibunuh pula, kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.
Allah memberikan hukuman yang begitu berat guna menjaga keselamatan dan ketentraman umum. Memang hukuman terhadap orang yang salah terutama adalah untuk menakut-nakuti masyarakat, agar jangan terjadi lagi perbuatan seperti itu. Dengan berhentinya perbuatan yang buas itu umat manusia akan hidup sentosa, aman, dan tenteram sehingga membuahkan kemakmuran.
2)      Ketaksengajaan semata-mata. Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena pada orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati.
Hukum pembunuhan yang tak disengaja ini tidak wajib qishos, hanya wajib membayar denda (diyat) yang enteng. Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib membayar sepertiganya.
3)      Seperti sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak wajib pula qishos, hanya diwajibkan membayar diyat (denda) yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.
Seorang ulama kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum qishos atau diyat.
Lima kejahatan tersebut adalah:
1)      Pembunuhan sengaja (القتل العمد);
2)      Pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد);
3)      Pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ);
4)      Pencederaan sengaja (الجرح العمد);
5)      Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).
Pengertian pembunuhan adalah sebuah pekerjaan yang melenyapkan nyawa yaitu pembunuh jiwa. Pengertian lainnya adalah sebuah pekerjaan hamba yang menyebabkan hilangnya nyawa. Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan bahwa pembunuhan itu adalah melenyapkan ruh anak Adam dengan perbuatan anak Adam yang lain.
1)      Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang yang ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh.
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد” adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh.
2)      Pembunuhan yang menyamai sengaja, menurut mazhab Hanafi adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil, atau sebuah tamparan.
Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan, atau dengan menumbuk satu kali, akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai pembunuhan yang menyamai sengaja.
Adapun pembunuhan yang dilakukan dengan memakai batu yang besar, tongkat besar atau yang menyamainya dan bukan merupakan senjata, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafi. Menurut Imam Abu Hanifah, ia termasuk dalam pembunuhan yang menyamai sengaja (شبه العمد) sedangkan menurut dua murid Mazhab Hanafi adalah termasuk dari pembunuhan sengaja (العمد).
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i; pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah setiap perbuatan yang disengaja akan tetapi keliru dalam membunuh, yaitu setiap perbuatan yang tidak diniatkan untuk membunuh, namun menyebabkan kematian. Sebagian ulama Syafi’I mendefinisikan sebagai perbuatan dengan niat melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi menyebabkan kematian.
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, yang juga termasuk pembunuhan menyerupai sengaja adalah pembunuhan dengan cara dipukul, dilukai, diracun, ditenggelamkan, dibakar, dibenturkan, dicekik, dan setiap perbuatan yang termasuk pembunuhan disengaja jika pelaku tidak berniat membunuh walaupun berniat menyerang.
3)      Pembunuhan yang tidak sengaja/tersalah adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka hewan buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.
Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’î yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
4)      Pencederaan sengaja adalah segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
5)      Pencederaan tidak sengaja adalah si pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.
Dalam pencederaan (الجرح) tidak ada “شبه العمد” adalah karena makna dari menyamai sengaja adalah pukulan dengan sesuatu yang bukan senjata. Maka wujudnya konsep “شبه العمد” adalah dianggap dari segi alat memukul itu. Konsep membunuh di sini itu kasus hukumnya akan berbeda sesuai dengan alatnya. Sedangkan kerusakan pada selain jiwa (الجرح) itu hukumnya tidak menjadi beda dengan berbedanya alat (sama). Hanya saja dilihat dari segi hasil pencederaan tersebut yaitu sengaja atau tidak sengaja. Maka menurut mazhab Hanafi, pencederaan yang memiliki kriteria “شبه العمد” dimasukkan ke dalam konsep pencederaan yang sengaja.
Menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali pula, pencederaan yang memiliki kriteria pembunuhan “شبه العمد” adalah termasuk pencederaan yang tersalah/tidak sengaja (الخطأ). Ini dikarenakan menurut mereka “tidak qishos kecuali ketika sengaja tidak pada tersalah dan yang menyamai sengaja” (لا قصاص إلا في الخطأ وشبه العمد).
C.     Sumber Hukum Qishos Diyat
Qishos disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah. Di antara dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, qishos diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179).
وَمَنْ قُتِل مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلاَ يُسْرِفْ فِي الْقَتْل إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra': 33).
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأْنْفَ بِالأْنْفِ وَالأْذُنَ بِالأْذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka ada qishosnya. Barangsiapa yang melepaskan nya, maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya.” (QS. Al-Maidah: 45).
مَنْ قُتِل لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ : إِمَّا أَنْ يُودَى وَإِمَّا أَنْ يُقَادَ
“Siapa yang punya saudara yang dibunuh, maka dia boleh memilih, menerima diyat (tebusan) atau membunuhnya (dengan qishos).” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَقْتُلَ وَإِمَّا أَنْ يُفْدَى
“Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapa memiliki saudara yang dibunuh, maka hendaklah memilih yang terbaik di antara dua pilihan: membunuh (qisas) atau menerima diyat". (HR. Ibnu Majah)
أَنَّ الرُّبَيِّعَ بِنْتَ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ ، فَعَرَضُوا عَلَيْهِمُ الأْرْشَ فَأَبَوْا ، وَطَلَبُوا الْعَفْوَ فَأَبَوْا ، فَأَتَوُا النَّبِيَّ r فَأَمَرَ بِالْقِصَاصِ فَجَاءَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ فَقَال : يَا رَسُول اللَّهِ أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ ، وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا . فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ قَال : فَعَفَا الْقَوْمُ . ثُمَّ قَال رَسُول اللَّهِ r : إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ
“Rubaiy' binti An-Nadhr bin Anas telah mematahkan gigi seorang budak wanita. Maka mereka menawarkan penggantian, namun ditolak. Mereka meminta maaf, juga ditolak. Dan mereka menemui Nabi SAW, dan beliau SAW memerintahkan untuk dilaksanakan qishos. Kemudian datanglah saudaranya, Anas bin An-Nadhr dan memohon,"Ya Rasulallah, apakah Anda akan mematahkan gigi Rubaiy'?. Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan hak, jangan patahkan giginya". Rasulullah SAW bersabda,"Ketetapan Allah adalah qishos". Maka kaum itu memaafkannya. Rasulullah SAW bersabda,"Di antara hamba Allah ada orang yang bila bersumpah atas nama Allah, maka Dia akan berbuat baik kepadanya". (HR. Muslim).
D.    Sangsi Jarimah Qishos Diyat
Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka sangsinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara: 1) dosa besar karena ada ayat Al-Quran yang menyatakan ia akan tetap di neraka jahanam; 2) diqishos karena ada ayat qishos; 3) terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun”.
Sangsi asal pertama adalah qishos. Qishos di sini adalah dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Ketika mustahiq al-qishâsh memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’I dalam sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustahiq al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq al-qishâsh berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyat.
Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari qishos. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman asal dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh diqishos dan sekaligus membayar diyat.
Sedangkan cara qishos pula terjadi khilâf; menurut mazhab Hanafi, qishos hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya, hukuman qishos dilaksanakan hanya dengan memakai senjata, tidak dengan membalas seperti cara pembunuh tersebut membunuh atau lainnya. Hukum ini juga ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling `ashah menurut mazhab Hanbali.
Cara pancung ini berlaku mutlak, baik orang tersebut (pembunuh/penjinayah/terpidana/الجاني) dalam melakukan jinayah pembunuhan tersebut dengan senjata, ataupun tidak. Ia juga berlaku walaupun pembunuhan tersebut adalah hasil dari pemenggalan leher, terus-menerusnya luka, mencekik, melemaskan dalam air, membakar, atau selainnya.
Menurut mazhab Syafi’I dan Maliki pula, pembunuh haruslah dibunuh (qishos) dengan cara seperti apa ia melakukan pembunuhan tersebut. Contohnya dengan memukul menggunakan sesuatu alat yang tajam seperti besi atau pedang; atau dengan alat berat seperti batu; atau dengan mencampakannya dari suatu tempat tinggi; atau mencekik lehernya; atau melemparkannya; atau melemaskannya; menahan makanan, merejam dalam air, membakar, atau dengan cara-cara lain. Konsep ini disebut dengan mutslah atau mumâtsalah. Akan tetapi seumpama mustahiq al-qishâsh memindahnya ke hukuman pancung dengan pedang, maka diperbolehkan malah ia lebih utama.
Sangsi asal kedua membayar kafârah. Ini berdasarkan kiyas kepada ayat bunuh tersalah (القتل الخطأ): {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا – إلى أن قال – فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}. Oleh karena itu, kafârahnya adalah memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus.
Akan tetapi, pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. Menurut mereka, kewajiban kafârah itu ketika pembunuh dimaafkan, atau direlakan dengan membayar diyat. Maka ketika ia diqishos, maka kafârahnya adalah qishos itu sendiri.
Sangsi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’I sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.
Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.
Sangsi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zîr. Menurut mayoritas ulama, ta’zîr ini tidak wajib. Ia hanya diserahkan kepada kebijakan imam dalam melakukan apa yang dianggap munasabah dengan kemaslahatan. Maka Imam dapat memenjara atau memukul atau al-ta`dîb yang sesamanya.
Sangsi yang mengikuti kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan pendapat.
Bagi pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد) maka sangsinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti.
Sangsi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penanggung jawab dan waktu membayarnya.
Sangsi asal kedua bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar kafârah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus. Sangsi gantian bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah ta’zîr. Sangsi yang mengikuti pembunuhan yang menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
Bagi pembunuhan yang tersalah (القتل الخطأ) maka sangsinya ada 2 saja yaitu asal dan yang mengikuti. Sangsi asalnya adalah diyat dan ta’zîr. Diyat bagi pembunuhan ini adalah diyat mukhaffafah. Kadarnya adalah 100 unta dengan perincian: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhâdlSanksi yang mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
Bagi pencederaan sengaja (الجرح العمد) ini terbagi menjadi 4 kategori; 1) pencederaan terhadap anggota dengan terputusnya, 2) pencederaan terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya, 3) pencederaan luka terhadap selain kepala dan disebut sebagai “الجرح”, 4) pencederaan luka terhadap kepala atau wajah yang disebut dengan “الشجاع”.
Sangsi bagi kategori 1 adalah qishos atau membayar diyat dan ta’zîr. Kategori 2 adalah membayar diyat atau ganti rugi (الأرش). Kategori 3 dan 4 adalah diqishos atau ganti rugi, atau hukum keadilan (حكومة العدل).
Adapun diyat pada selain jiwa sama ada hilangnya anggota, atau makna dari kegunaan anggota dan luka itu terkadang sama dengan diyat hilangnya jiwa yaitu dalam hal memotong lisan, hilangnya akal, dan pecahnya tulang punggung (igo wekas) untuk berjalan atau jimak. Dan terkadang 1/2nya diyat jiwa bagi pemotongan sebelah tangan dan sebelah kaki (kalau kedua tangan berarti seluruh diyat jiwa). Kadangkala 1/3 bagi jinayah terhadap perut bagian dalam. Kadangkala ¼ pada pelapuk mata, 1/10 pada setiap satu jari dan 1/20 (نصف عُشر) bagi setiap mûdlihah  kepala dan wajah.
Bagi pencederaan yang tersalah (الجرح الخطأ) ia adalah diyat atau al-`Arsy. Maksud diyat di sini adalah diyat sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyat. Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).
E.     Pembuktian
Setiap ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui proses peradilan. Ini merupakan konsep hukum umum dan konsep hukum Islam. Sedangkan proses membuktikan sebuah perbuatan itu benar-benar terjadi tentunya memerlukan aturan. Aturan ini disebut dengan hukum acara atau “أحكام المرافعات.
Dalam konsep hukum acara ini, fiqh Islam sudah mengatur secara jelas konsep menetapkan suatu hukum. Sesuatu itu harus dikuatkan dengan alat-alat bukti yang valid agar memudahkan dan menyakinkan hakim dalam memberi putusan.
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan qishos atau diyat adalah sebagai berikut:
1.       Pengakuan (الإقرار): syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang akan berakibatkan qishos atau diyat adalah harus jelas dan terperinci. Tidak sah pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat.
2.       Persaksian (الشهادة): Dalam kasus pidana selain zina, syarat minimal adalah 2 orang saksi lelaki yang adil.
3.       Qarînah: Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu yang masih samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu. Syarat dalam qarînah ada 2: (1) Ditemukannya perkara yang zahir yang diketahui dan patut menjadi asas untuk dipercayai, (2) Ditemukan persambungan (hubungan) yang menyambung antara perkara yang zahir dengan yang samar tadi. Akan tetapi alat bukti ini tidak dapat dijadikan alat bukti untuk kasus pidana hudud dan qishos kecuali qasâmah menurut mayoritas ulama.
4.       Menarik diri dari bersumpah (النكول عن اليمين): Ketika terdakwa menarik diri (mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim. Akan tetapi, alat ini hanya dipakai oleh mazhab Hanbali. Sedangkan mazhab Hanafi hanya terbatas pada qishos anggota dengan keadaan sengaja dan diyat ketika tersalah. Sedangkan qishos jiwa dan lainnya tidak boleh, akan tetapi terdakwa dipenjara sampai ia bersumpah atau mengaku.
5.       Al-Qasâmah: Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana pembunuhan. Ia dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki. Menurut mayoritas ulama; orang-orang yang bersumpah ialah ahli waris mangsa untuk menetapkan tuduhan bunuh terhadap terdakwa. Setiap orang perlu menyebut dalam sumpahnya: “Demi Allah yang tiada tuhan yang disembah melainkan-Nya, sesungguhnya orang ini telah memukulnya lalu dia mati” atau “Dia telah dibunuh oleh orang ini”. Jika sebagian pewaris tidak mau bersumpah, maka waris yang lain akan diminta bersumpah untuk bilangan sumpahan yang tertinggal dan mengambil diyat masing-masing. Jika mereka tidak mau sumpah, atau tidak terdapat qarînah yang menandakan pembunuhan atau permusuhan nyata, sumpahan itu dipindahkan ke atas orang yang didakwa yang akan ditunaikannya oleh penjamin (العاقلة) sebanyak 50 kali. Tetapi jika orang yang didakwa tidak mempunyai penjamin, orang yang dituduh sendiri akan dimintai bersumpah sebanyak 50 kali, kemudian dia akan bebas.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Kata qishos (qishâsh) yang dalam bahasa Arab “قصاص” secara bahasa memiliki arti mengikuti jejaknya/kesannya (تتبع الأثر) seperti “قصصت الأثر” berarti: aku mengikuti jejaknya (تتبعته).
Secara istilah kata qishos memiliki arti: “الْقِصَاصُ أَنْ يُفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الْجَانِي مِثْلُ مَا فَعَلَ” berarti: qishos adalah diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan.
Kata diyât (ديات) yang merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki arti: harta yang wajib bagi jiwa. Sedangkan secara istilah pula adalah harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya. Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Secara umum, pembunuhan ada tiga cara, yaitu:
1.      Betul-betul disengaja.
2.      Ketaksengajaan semata-mata.
3.      Seperti sengaja.
Qishos disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah. Di antara dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, qishos diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179).
مَنْ قُتِل لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ : إِمَّا أَنْ يُودَى وَإِمَّا أَنْ يُقَادَ
“Siapa yang punya saudara yang dibunuh, maka dia boleh memilih, menerima diyat (tebusan) atau membunuhnya (dengan qishos).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka sangsinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara: 1) dosa besar karena ada ayat Al-Quran yang menyatakan ia akan tetap di neraka jahanam; 2) diqishos karena ada ayat qishos; 3) terhalang menerima warisan.
Sangsi asal pertama adalah qishos. Qishos di sini adalah dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Sedangkan cara qishos pula terjadi khilâf; menurut mazhab Hanafi, qishos hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan senjata seperti pedang. Sangsi asal kedua membayar kafârah.
Sangsi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat mughalladzah. Sangsi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zîr. Setiap ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui proses peradilan.
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan qishos atau diyat adalah sebagai berikut:
1.      Pengakuan (الإقرار)
2.      Persaksian (الشهادة)
3.      Qarînah
4.      Menarik diri dari bersumpah (النكول عن اليمين)
5.      Al-Qasâmah



DAFTAR PUSTAKA
Muslich, A.Wardi. 2006. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika.
Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo.
Zainuddin, Asy-Syekh. Fat-hul Mu’in. Surabaya: Al-Hidayah.
http://www.islamcendekia.com/2014/04/jarimah-qisas-dan-diyat.html. Diakses pada tanggal 20 November 2016 pukul 22.35 WIB.